A. Pengertian
Kata
Kata adalah suatu unit dari suatu bahasa yang mengandung arti dan
terdiri dari satu atau lebih morfem.
Umumnya kata terdiri dari satu akar kata tanpa atau dengan beberapa afiks.
Gabungan kata-kata dapat membentuk frasa, klausa, atau kalimat.
Kata "kata" dalam bahasa Melayu dan Indonesia diambil
dari bahasa Sanskerta kathā. Dalam bahasa Sanskerta, kathā sebenarnya
bermakna konversasi, bahasa, cerita atau dongeng. Dalam bahasa Melayu dan
Indonesia terjadi penyempitan arti semantis menjadi kata.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1997)
memberikan beberapa definisi mengenai kata:
1. Elemen
terkecil dalam sebuah bahasa yang diucapkan atau dituliskan dan merupakan
realisasi kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa
2. konversasi,
bahasa
4. Unit
bahasa yang dapat berdiri sendiri dan terdiri dari satu morfem (contoh kata)
atau beberapa morfem gabungan (contoh perkataan)
Definisi pertama KBBI bisa diartikan
sebagai leksem yang
bisa menjadi lema atau entri sebuah kamus. Lalu definisi kedua mirip dengan
salah satu arti sesungguhnya kathā dalam bahasa
Sanskerta. Kemudian definisi ketiga dan keempat bisa diartikan sebagai
sebuah morfem atau gabungan morfem.
B. Imbuhan
dalam bahasa asing dan upaya mengindonesiakan
Dalam pertumbuhan bahasa Indonesia, banyak imbuhan baru atau serapan dari bahasa daerah, terutama dari bahasa-bahasa asing. Imbuhan-imbuhan tersebut sangat produktif, lebih banyak tampil dalam surat kabar-surat kabar atau karya ilmiah.
Macam-macam
Imbuhan Asing dan maknanya :
* Imbuhan
asing dari bahasa Daerah
(1)
Awalan tak = tidak
Contoh: tak sadar,tak aktif,tak sosial,dsb.
(2)
Awalan serba = seluruhnya/semuanya
Contoh: serba merah, serba susah,dsb.
(3)
Awalan tuna = kehilangan sesuatu,ketiadaan, cacad.
Contoh:
tuna karya, tuna wisma, tuna susila, dsb.
* Imbuhan
asing dari bahasa Sanskerta
1. Bentuk
awalan sebagai berikut:
Awalan
maha = sangat/besar, pra = sebelum (= pre), swa = sendiri, dan
dwi =
dua, dsb
Contoh:
(a).
Para mahasiswa sedang melakukan penelitian di
Gunung Merapi.
(b).
Zaman prasejarah manusia belum mengenal tulisan.
* Bentuk
akhiran dari bahasa Asing (wan, -man, -wati,i, iah ,isasi, isme, isasi)
Nosi atau arti :
1. Menyatakan orang yang ahli
Misalnya : ilmuwan, rohaniwan, dan budayawan, sastrawan, dsb.
2. Menyatakan orang yang mata pencahariannya dalam bidang tertentu
Misalnya : karyawan, wartawan, dan industriwan
3. Orang yang memiliki sifat khusus
Misalnya : hartawan dan dermawan
4. Menyatakan jenis kelamin
5. Menyatakan sifat contoh alami, badani, insani, hewani, artinya
menyatakan ‘
6. Menyatakan
bersifat bersifat, duniawi, manusiawi, dan surgawi
C. Hubungan makna kata: sinonimi, hiponimi, homonimi, polisemi,
antonimi
Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari
bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang
berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti
‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik Verhaar (1978)
mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang
maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah
dua buah kata yang bersinonim; bunga, kembang,
dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim; mati, wafat, meninggal,
dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua
arah. Jadi kalau kata bunga bersinonim
dengan kata kembang, maka kata kembang juga
bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga kalau kata buruk bersinonim
dengan kata jelek, maka kata jelek bersinonim
dengan kata buruk. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut.
buruk
jelek
Pada definisi di atas
dikatakan ”maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah kata yang
bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja.
Kesamaannya tidak bersifat mutlak. Jadi, makna buruk dan jelek tidak
persis sama; makna kata bunga, kembang, dan puspa pun
tidak persis sama. Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya ;
padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual
sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis
komponen yang sama adalah bagian atau unsur tertentu saja dari makna itu yang
sama. Misalnya kata mati dan meninggal. Kata mati nemiliki
komponen makna (1) tidak bernyawa (2) dapat dikenakan terhadap apa saja
(manusia, binatang, pohon). Sedangkan meninggal memiliki
komponen makna (1) tidak bernyawa. (2) hanya dikenakan pada manusia. Maka
dengan demikian kata mati dan meninggal hanya
bersinonim pada komponen makna (1) tidak bernyawa. Kerena itu, jelas bagi kita
kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati;
tetapi yang bisa meninggal hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon tidak
bisa.
Ketidakmungkinan kita untuk
menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya.
Antara lain, karena;
(1) Faktor
waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata
komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang
hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya
cocok untuk situasi masa kini (modern).
(2)
Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah
bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalan
konteks pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku); sedangkan kata saya dapat
digunakan secara umum di mana saja.
(3)
Faktor Sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah
dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat
digunakan untuk teman sebaya yang tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih
tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.
(4)
Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah
tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim
dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan islam; dan
kata mistik untuk semua agama.
(5)
Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot,
meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim.
Kata melihat memang bisa digunakan secara umum; tetapi
kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan
sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat dengan
mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan untuk
melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya
cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Penggolongan
sinonimi menurut pembagian Colliman yang dikutip Ulmann (1964: 142 143)
mengikhtisarkan kemungkinan perbedaan kata-kata bersinonim itu, sebagai
berikut.
1.
Sinonim yang salah satu anggotanya memiliki makna yang lebih umum. Misalnya, menghidangkan daripada menyediakan atau menyiapkan.
2.
Sinonim yang salah satu anggotanya memiliki unsur makna yang lebih intensif.
Misalnya, jenuh daripada bosan; kejam daripada bengis;
imbalan daripada pahala.
3.
Sinonim yang salah satu anggotanya lebih menonjolkan makna emotif.
Misalnya, mungil daripada kecil; bersih daripada ceria;
hati kecil daripada hati nurani.
4.
Sinonim yang salah satu anggotanya bersifat mencela atau tidak membenarkan.
Misalnya, boros daripada tidak hemat; hebat daripada dahsyat.
5.
Sinonim yang salah satu anggotanya menjadi istilah bidang tertentu.
Misalnya, plasenta daripada ari-ari; ordonansi daripada peraturan;
disiarkan daripada ditayangkan.
6.
Sinonim yang salah satu anggotanya lebih banyak dipakai di dalam ragam bahasa
tulisan. Misalnya, selalu daripada senantiasa;
enak daripada lezat; lalu daripada lampau;
bisa daripada racun.
7.
Sinonim yang salah satu anggotanya lebih lazim dipakai di dalam bahasa
percakapan. Misalnya, kayak daripada seperti;
ketek daripada ketiak.
8.
Sinonim yang salah satu anggotanya dipakai dalam bahasa kanak-kanak.
Misalnya, pipis daripada berkemih; mimik daripada minum;
bobo daripada tidur; mamam daripada makan.
9.
Sinonim yang salah satu anggotanya biasa dipakai di daerah tertentu saja.
Misalnya, cabai daripada lombok; sukar daripada susah;
lepau daripada warung; katak daripada kodok;
sawala daripada diskusi.
Dalam beberapa buku
pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata
yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama
bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata, tetapi juga banyak
terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya.
Perhatikan contoh berikut!
(a)
Sinonim antar morfem (bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya,
antara saya dengan ku dalam kalimat
(1)
Buku dia
Bukunya
(2) Saya lihat
kulihat
(b)
Sinonim antar kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal; antara buruk dengan jelek; antara bunga dengan puspa;
antara nasib dengan takdir; antara memuaskan dengan menyenangkan.
(c)
Sinoninm antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup
usia; antara hamil dengan duduk perut;
antara pencuri dengan tamu yang tidak diundang.
(d)
Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang
tua; antara meninggal dunia dengan pulang
ke rahmatullah; antara baju hangat dan baju
dingin.
(e)
Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola
ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap bersinonim, yang pertama
kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.
Mengenai sinonim ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras,
salju, batu dan kuning. Kedua, ada
kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian.
Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul; tetapi
kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan.
Kita dapat mengatakan “Saya betul.”; “Saya benar.”; “Kebetulan
saya.....” tetapi tidak mungkin kebenaran saya. Ketiga, ada
kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki
sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai
sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan;
dan berjemur bersinonim dengan berpanas. Keempat,
ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi
dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam
makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan” ada
sinonimnya yaitu gelap, mesum, buruk, jahat dan tidak
menentu.
Gorys Keraf (2006: 35)
mengatakan bahwa sinonim tak dapat dihindari dalam sebuah bahasa; pertama-tama
ia terjadi karena proses serapan. Pengenalan dengan bahasa lain membawa akibat
penerimaan kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa
Indonesia. Contoh, dalam bahasa Indonesia sudah ada kata hasil kita
masih menerima kata prestasi dan produksi; sudah
ada kata jahat dan kotor masih menerima
kata maksiat; sudah ada kata karangan masih
menerima kata risalah, artikel, makalah,
atau esei. Serapan ini bukan hanya menyangkut referen yang sudah
ada katanya dalam bahasa sendiri, tetapi juga menyangkut referen yang belum ada
katanya dalam bahasa sendiri. Dalam hal ini sinonim terjadi karena menerima dua
bentuk atau lebih dari bahasa donor atau menerima beberapa bentuk dari beberapa
bahasa donor seperti: buku, kitab, pustaka; sekolah dan madrasah; reklame,
iklan, adpertens; teater, drama, dan sandiwara..
Penyebab kedua terjadinya
sinonim adalah adanya penyerapan kata-kata daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Tempat kediaman yang berlainan memengaruhi pula perbedaan kosakata yang
digunakan , walaupun referennya sama. Kita mengenal kata tali dan tambang, parang dan golok, ubi
kayu dan singkong, lempung dan tanah
liat, dan lain sebagainya. Juga ada sinonim yang terjadi karena pengambilan
data dari dialek yang berlainan: tuli dan pekak, sore dan petang,
dan sebagainya.
Faktor ketiga yang
menyebabkan terjadinya sinonim adalah makna emotif (nilai
rasa) dan evaluatif. Makna kognitif dari kata-kata yang
bersinonim itu tetap sama, hanya nilai evaluatif dan nilai emotifnya
berbeda: ekonomis-hemat-irit, dara-gadis-perawan, kikir-pelit,
ingin-rindu-damba, sari-pati, mayat-jenazah, bangkai,
mati-meninggal-gugur-wafat-mangkat, penyair-pujangga-sastrawan,
kuat-perkasa-gagah, dan sebagainya.
Antonimi
dan Oposisi
Kata antonimi berasal
dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’
dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka
antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar
(1978) mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat
pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari
makan ungkapan lain. Misalnya kata bagus adalah berantonim
dengan kata buruk; kata besar berantonim
dengan kata kecil; dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.
Sama halnya dengan sinonim,
antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata,
tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem
(terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa Inggris kita jumpai contoh thankful dengan thankless,
dimana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif, dimana pro dan re berantonim.
Dalam buku-buku pelajaran
bahasa Indonesia, antonim biasanya disebut lawan kata. Banyak orang yang tidak
setuju dengan istilah ini sebab pada hakikatnya yang berlawanan bukan kata-kata
itu, melainkan makna dari kata-kata itu. Maka, mereka yang tidak setuju dengan
istilah lawan kata lalu menggunakan istilah lawan makna. Dari uraian tersebut
dapat dilihat bahwa antonim pun sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat
mutlak. Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna.
Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul
berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi:
Oposisi
Mutlak
Di sini terdapat
pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat
batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak
(belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu
sudah tidak hidup lagi. Contoh lain dari oposisi mutlak adalah
kata gerak dan diam. Sesuatu yang (ber)gerak tentu
tiada dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu
tidak dalam keadaan (ber)gerak. Kedua proses ini tidak dapat berlangsung
bersamaan, tetapi secara bergantian.
Oposisi Kutub
Makna kata-kata yang
termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan
bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata
tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah
dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak
mutlak orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin,
dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu
merasa kaya. Itulah sebabnya kata-kata yang beroposisi kutub
ini sifatnya relatif, sukar ditentukan batasnya yang mutlak.
Atau bisa juga dikatakan batasnya bisa bergeser, tidak tetap pada
suatu titik. Kalau didiagramkan keadaan tersebut menjadi sebagai berikut.
kutub A
kaya
batas
miskin
kutub B
Makin ke atas makin kaya
dan makin ke bawah makin miskin. Namun bats kaya-miskin itu sendiri dapat
bergeser ke atas dan ke bawah. Ketidakmutlakan makna dalam oposisi ini tampak
juga dari adanya gradasi seperti agak kaya, cukup kaya, kaya, dan sangat kaya.
Atau pun juga dari adanya tingkat perbandingan seperti kaya, lebih kaya, dan
paling kaya. Namun yang paling kaya dalam suatu deret perbandingan mungkin
menjadi yang paling miskin dalam deret perbandingan yang lain.
Kata-kata yang beroposisi
kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat,
panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
Oposisi
Hubungan
Makna kata yang beroposisi
hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang
lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak
ada. Umpamanya, kata menjual beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli walaupun
maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak.proses menjual dan
proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga
bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada
proses membeli. Contoh lain, kata suami beroposisi dengan kata
istri. Kedua kata ini hadir serempak: tak akan ada seseorang disebut sebagai
suami jika dia tidak mempunyai istri. Begitu pula sebaliknya.
Kata-kata yang beroposisi
hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju, pulang-pergi,
pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan sebagainaya. Selain
itu, bisa pula berupa kata benda, seperti ayah- ibu, guru-murid,
atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
Oposisi
Hierarki
Makna kata-kata yang
beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Oleh
karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah kata-kata yang
berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan
penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi
hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan
nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi
secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan
berat.
Oposisi
Majemuk
Selama ini yang dibicarakan
adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup,
menjual-membeli, jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan
kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah
kata. Misalnya kata berdiri bisa
beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring,
dengan kata berjongkok.
Keadaan seperti ini lazim
disebut dengan kata istilah oposisi majemuk. Jadi:
Duduk berdiri berbaring tiarap berjongkok
Contoh lain, kata diam yang
dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
Homonimi,
Homofoni, Homograf
Kata homonimi berasal dari
bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang
artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk
benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi
sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan
ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak
sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Artinya,
kalau kata bisa yang berarti ’racun ular’ homonim dengan
kata bisa yang berarti ‘sanggup’, maka kata bisa yang
berarti ‘sanggup’ homonim dengan kata bisa yang berarti ’racun
ular’.
Hal-hal yang menyebabkan
terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1.
bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang
berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti ‘racun ular’
berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti
‘sanggup’ berasal dari bahasa Jawa.
2.
bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Misalnya, kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur
adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agrarian itu
mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai
hasil proses pengimbuhan awalan me-pada kata kukur (me+kukur = mengukur);
sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan
awalan me- pada kata ukur (me+ukur = mengukur).
Hominimi dan sinonimi dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
1.
Homonimi antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan
morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem –nya pada kalimat: ”ini buku
saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya” berhomonimi dengan –nya pada
kalimat ”Mau belajar tetapi bukunya belum ada.” morfem –nya yang pertama adalah
kata ganti orang ketiga sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku
tertentu.
2. Homonimi
antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara
kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang
berarti ‘sanggup, atau dapat’, antar kata semi yang berarti ’tunas’ dan kata
semi yang berarti ’setengah’.
3. Homonimi
antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti
‘perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta
anak yang berarti ‘cinta kepada anak dari seorang ibu’.
4. Homonimi
antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang
berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah
itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
Disamping homonimi ada pula
istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat
dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat
dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan).
Homofoni sebetulnya sama
saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi.
Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis
dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna. Misalnya
kata bank dan bang, yang bunyinya persis sama,
tetapi maknanya berbeda. Bank adalah lembaga yang mengurus
lalu lintas uang, sedangkan bang adalah bentuk singkat dari
abang yang berarti ’kakak laki-laki’. Contoh lain adalah kata sanksi yang
berhomofon dengan kata sangsi. Sanksi berarti ’akibat, konsekuensi’
seperti dalam kalimat Apa sanksinya kalau belum membayar uang SPP? Sedangkan
kata sangsi yang berarti ’ragu’ seperti dalam kalimat Saya sangsi apakah dia
akan dapat menyelesaikan pekerjaan itu.
Dalam bahasa Indonesia ada
sejumlah kata yang tulisannya sama (jadi, homograf), sedangkan lafalnya atau
bunyinya tidak sama (jadi, tidak homofon). Misalnya kata teras yang dilafalkan
(təras) dan berarti ’inti kayu’ dengan kata teras yang dilafalkan (teras) dan
berarti ’lantai yang agak ketinggian di depan rumah’. Contoh lain kata sedan
yang dilafalkan (sədan) dan berarti ’tangis kecil, isak’ dengan kata sedan yang
dilafalkan (sedan) dan berarti ’sejenis mobil penumpang’. Kalau melihat kedua
contoh di atas dapat dikatakan masalah kehomografian di dalam bahasa Indonesia
adalah karena tidak diperbedakannya lambang untuk fonem /ə/ dan fonem /e/ di
dalam sistem ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sekarang ini.
Hiponimi
dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari
bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti
“di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama
lain’. Secara semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim ialah ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang
maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Gorys Keraf (2006: 38)
mengatakan bahwa hiponimi adalah semacam relasi antar kata yang berwujud atas-bawah atau
dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Kata yang
berkedudukan sebagai kelas atas disebut superordinat dan
kelas bawah disebut hiponim.
Kata bunga merupakan
superordinat yang membawahi sejumlah hiponim antara lain: mawar, melati,
sedap malam, flamboyan, dan sebagainya. Tiap hiponim juga pada
gilirannya juga dapat menjadi superordinat bagi sejumlah hiponim
yang bernaung di bawahnya, seperti: kata mawar menjadi
superordinat dari kata mawar merah, mawar putih, mawar hitam, dan
sebagainya.
Ikan tongkol bandeng tenggiri teri mujair
Kalau relasi antara dua
buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka
relasi antar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi, kata
tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata ikan tidak berhiponim
terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal
ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau jenis ikan lainnya) disebut hipernimi.
Konsep hiponimi dan
hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna
sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada
kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain,
akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya.
makhluk manusia binatan ikan kambing monyet gajah
tongkol bandeng tenggiri teri mujair
Polisemi
Polisemi lazim diartikan
sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna
lebih dari satu. Kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki
enam buah konsep makna. Namun, makna-makna yang banyak dari sebuah kata yang
polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari
komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut (1) bagian tubuh dari
leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu
yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting atau
terutama seperti kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3) bagian
dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti kepala paku dan kepala
jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan
kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat setiap kepala
menerima bantuan Rp 5000.00; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat. Badannya
besar tetapi kepalanya kosong.
Kata korban dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai memiliki makna (1) pemberian
untuk menyatakan kebaktian, (2) orang yang menderita
kecelakaan karena suatu perbuatan, (3) orang yang meninggal
karena tertimpa bencana. Ketiga makna ininberdekatan satu sama lain
dan dalam kamus biasanya ditempatkan di bawah satu topik yang sama.
Persoalan lain yang
berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan
bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa
homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang
kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata,
maka maknanya pun berbeda. Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi
didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi
adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini
adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu
lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk
homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan
yang lainnya.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar